Rabu, 17 Juni 2020, 08:42 WIB
Dunia penegakan hukum dibuat tersentak kaget bukan kepalang setelah publik mendengar adanya Jaksa Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin selaku Penuntut umum dalam menangani penuntutan terhadap dua terdakwa Roni Bugis dan Rahmat Kadir dalam perkara Novel Baswedan.
Roni Bugis dan Rahmat Kadir yang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan secara bersama-sama penganiayaan berat terencana, atas perbuatannya keduanya dituntut Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan hukuman 1 tahun penjara. Lazimkah di mata hukum??
Sebenarnya sepintas dalam tuntutan secara normative jaksa Fedrik Adhar tidak ada yang salah jika mungkin hal tersebut setelah mempertimbangkan fakta hukum di persidangan. Namun menjadi tuntutan tersebut tidak lazim adalah karena jika hal tersebut tidak dikaji dari sisi legal justice, social justice dan filosofis justice yang menurut saya kurang dipertimbangkan secara proporsional. Artinya apa? Dengan menuntut dua terdakwa masing-masing 1 tahun penjara atas sanksi yang diberikan kepadanya atas perbuatannya terhadap Pejabat negara sekelas KPK adalah tidak bisa diterima akal waras publik, jika dibandingkan dengan perkara serupa yang menimpa masyarakat biasa yang sebelumnya sudah pernah ada, bahkan tuntutannya kebanyakan rata-rata jauh di atas 1 tahun.
Berkaca dari hal tersebut adalah tidak tepat jika ukuran yang dipakai dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kedua terdakwa tidak dalam kesengajaan sehingga luka yang di derita Novel Baswedan adalah luka berat namun dapat dianggap hal yang “biasa” saja??
Ini justru melukai perasaan korban dan masyarakat selaku pemerhati jalannya kasus tersebut . Adalah hal yang tidak lazim jika hanya dilihat dari “dampak perbuatan tersebut” di luar tindakan terencana kedua terdakwa lantas dipakai sebagai ukuran pemaaf? Meskipun luka yang menimpa Novel Baswedan adalah kategori luka berat?
Yang secara definitif luka yang ditimbulkan berakibat tidak berfungsinya organ tubuh yang terluka, karena berakibat hilangnya fungsi penglihatan mata sebelah kiri dan kaburnya mata sebelah kanan.
Berbicara tentang factor sengaja atau tidak sengaja tergantung pula dari mens rea (niatan pelaku) , okelah jika terdakwa bisa saja “ngeles” tidak ada kesengajaan terhadap bahan cairan yang disiramkan mengenai wajah Novel Baswedan akan berakibat kebutaan jika kena mata sehingga hal tersebut dapat meringankan sanksi atas perbuatannya tersebut.
Akan tetapi hal ini sangat kontradiktif jika dihubungkan dengan perbuatan terdakwa sendiri yang sudah terencanakan sebelumnya sampai pada batas penyiraman bahan cairan tersebut kepada Novel Baswedan, terlepas apakah ada niat/ target harus mengenai wajah atau tidak , hal ini sudah terbukti adanya perencanaan sehingga unsur pemberatan dalam sanksi pidana jelas harus ada.
Dan unsur tidak sengaja menjadi buta atau yang demikian itu sebenarnya tidak dapat digunakan sebagai alasan Jaksa Penuntut Umum meringankan sanksi terhadap perbuatan kedua terdakwa tersebut. Jika bicara hal yang meringankan bagi terdakwa sebenarnya tidak diperlukan, karena domain Jaksa penuntut umum itu kan berdiri pada posisi membela korban dan melakukan penuntutan yang setimpal agar korban terobati kekecewaannya, makanya buat apa pula jaksa penuntut umum mempertimbangkan hal-hal yang meringkan bagi terdakwa, biarlah itu menjadi domain dan tugas Penasihat hukum terdakwa yang akan memberikan pembelaannya atas hal-hal yang meringankan terdakwa secara subtansial.
Dan ketidak laziman kedua dan ketiga terkait dari segi social dan filosofis, apakah dengan tuntutan 1 tahun terhadap kedua penyiram Novel Baswedaan telah mampu memberikan efek jera bagi masyarakat atau justru sebaliknya publik menilai bahwa tuntutan yang dimaksud tidak memenuhi asas kepatutan dan justru dikuatirkan berdampak ketidak kepercayaan publik lagi pada penegak hukum bahwa ini ada permainan?
Dan selain apakah efek jera nantinya akankah berdampak terhadap perubahan perilaku masyarakat agar tidak mencontoh atau tidak menganggap remeh sehingga masyarakat tidak mudah meniru melakukan hal yang sama, itu perlu kajian tersendiri. Dan yang terakhir secara filosofis lazimkah tuntutan 1 tahun tersebut untuk mengobati luka dan derita pejabat Negara sekelas KPK?
Jika dipertimbangkan dari aspect dampak yang ditimbulkan dan derita korban Novel Baswedan selama ini baik secara physic maupun psycis serta sosial, sudahkah dipertimbangkan secara seksama oleh insitusi Kejaksaan sebab Jaksa Penuntut Umum Fedrik Adhar tidak sendirian dalam membacakan tuntutan 1 tahun tersebut tanpa adanya arahan secara hierarkis di kejaksaan.
Dari yang saya uraikan tadi, sepertinya cukup sebagai bahan kajian, dan kita masih bisa berharap agar Hakim Majelis pemeriksa perkara Novel Baswedan, mempunyai sikap dan pertimbangan hukum tersendiri dan tidak harus seirama dengan Jaksa Penuntut Umum sehingga masih ada harapan memberikan hukuman yang setimpal dan berkeadilan, semoga .
Penulis : Rudy Majono Ketua Konsorsium Penegakan Hukum Indonesia (KOPHI)
Sumber : https://lampuhijau.co.id
Rudy Marjono, SH.